Wibawa
Kasultanan Yogyakarta masih terasa sangat kuat sampai pada hari ini.
Pada tahun 1998, 2003, dan 2008, masyarakat Yogyakarta menyatakan
dukungan kepada Sri Sultan HB X untuk menjadi Gubernur DIY. Ribuan orang
berunjuk rasa, menyampaikan orasi, dan mengukuhkan HB X menjadi Kepala
Daerah DIY. Itu merupakan salah satu bukti betapa kejayaan Kasultanan
Yogyakarta masih belum pudar.
Kejayaan
Kasultanan Yogyakarta masa kini mempunyai akar sejarah yang panjang.
Pada awalnya kasultanan ini adalah Mataram Islam, sebuah kerajaan Jawa
klasik yang berkuasa atas pulau Jawa dan Madura serta sebagian
Kalimantan Barat. Mataram akhirnya terbelah menjadi dua melalui
Perjanjian Giyanti (1755), yaitu Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan
Surakarta. Dengan demikian, Kasultanan Yogyakarta adalah pewaris sah
kerajaan Mataram tersebut.
ASAL MULA MATARAM ISLAM
Lahirnya
Mataram Islam berkaitan dengan perkembangan kerajaan Pajang. Sebelum
menjadi raja Pajang dengan gelar Sutan Hadiwijaya (1546-1586), Joko
Tingkir atau Mas Karebet harus berperang melawan Adipati Jipang yang
bernama Arya Penangsang. Joko Tingkir dapat mengalahkan Arya Penangsang
berkat bantuan Danang Sataujaya. Namun, kemenangan itu terjadi karena
strategi bagus yang diberikan oleh ayah Danang Sataujaya (yaitu Ki Ageng
Pemanahan) dan tokoh lainnya yang bernama Penjawi. Oleh karena itu,
Sutan Hadiwijaya memberi hadiah tanah Mentaok (sekitar Kota Gede
Yogyakarta) kepada Ki Ageng Pemanahan. Kemudian, Ki Ageng Pemanahan
membangun Mentaok menjadi sebuah Kadipaten yang berada di bawah
kekuasaan Pajang.
Danang
Sataujaya (putra Ki Ageng Pemanahan) menjadikan Kadipaten yang dibangun
ayahnya itu menjadi sebuah kerajaan baru yang bernama Mataram Islam.
Saat itu, setelah Sutan Hadiwijaya wafat, Pajang merosot. Danang menjadi
raja pertama Mataram dengan gelar Panembahan Senopati (1584-1601).
Selama masa kepemimpinanya, semua daerah di Jawa bagian tengah dan timur
(kecuali Blambangan) berhasil ia taklukkan.
PUNCAK KEJAYAAN
Mataram
Islam mencapai puncak kejayaannya pada jaman Sultan Agung Hanyokrokusumo
(1613-1646). Daerah kekuasaannya mencakup Pulau Jawa (kecuali Banten
dan Batavia), Pulau Madura, dan daerah Sukadana di Kalimantan Barat.
Pada waktu itu, Batavia dikuasai VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie) Belanda.
Kekuatan
militer Mataram sangat besar. Sultan Agung yang sangat anti kolonialisme
itu menyerang VOC di Batavia sebanyak dua kali (1628 dan 1629). Menurut
Moejanto seperti yang dikutip oleh Purwadi (2007), Sultan Agung
memakai konsep politik keagungbinataran yang berarti bahwa kerajaan Mataram harus berupa ketunggalan, utuh, bulat, tidak tersaingi, dan tidak terbagi-bagi.
MELANJUTKAN KEJAYAAN MATARAM
Kejayaan
politik dan militer Mataram Islam yang mencapai puncaknya pada jaman
Sultan Agung itu akhirnya mulai merosot sedikit demi sedikit. Pengganti
Sultan Agung, Hamangkurat I (1647-1677) justru bersahabat dengan VOC.
Hamangkurat II (1677-1703) menyerahkan Semarang kepada VOC. Meskipun
demikian, Hamangkurat II melawan VOC di Kartasura sampai Kapten Tack
meninggal. Hamangkurat III (1703-1708) lebih bersikap menentang VOC.
Kemerosotan
tajam terjadi pada jaman Sunan Paku Buwono II (PB II) yang memerintah
pada tahun 1727 sampai tahun 1749. Pada mulanya, PB II menyerahkan
Semarang, Jepara, Rembang, Surabaya, dan Madura kepada VOC. Pada tahun
1743 diserahkannya pula Demak dan Pasuruan. Belanda pun menguasai
pelayaran orang Jawa yang berpusat di Tegal, Pekalongan, Kendal, Tuban,
Juwana, dan sebagainya. Sebelum mangkat, PB II menyerahkan seluruh
Mataram kepada VOC Belanda.
Syukurlah,
Pangeran Mangkubumi tidak terima dengan semua itu. Ia pun bangkit
melawan penjajah. Akhirnya ia memperoleh sebagian Mataram melalui
Perjanjian Giyanti (1755). Meskipun nama kerajaan baru yang didirikannya
bukan lagi Mataram namun Kasultanan Ngayogyokarto Hadiningrat,
bangkitnya kerajaan baru ini sebenarnya melanjutkan kejayaan Mataram.
Kasultanan Yogyakarta adalah pewaris sah kerajaan Mataram. Dengan
demikian, kejayaan Mataram dilanjutkan.

0 komentar :
Posting Komentar